ISAAC Asimov, seorang penulis science fiction Amerika kelahiran Rusia yang cemerlang, pernah memasukkan sebuah fakta dalam bukunya, Isaac Asimov’s Book of Facts. Ada ribuan fakta janggal di alam tertulis di dalamnya, yang berbijak pada logika. Anehnya, ada sebuah fakta unik yang sulit dipercaya bagi orang yang berlindung pada akal sehat. ‘Believe It Or Not’, kata orang.
“Sebuah hotel di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat menyediakan satu kamar khusus untuk dewi penguasa lautan Samudra Hindia”, begitu tulis Asimov kira-kira. Bagi sebagian masyarakat pulau Jawa yang bermukim di sepanjang pesisir pantai selatan pulau terpadat itu, fakta demikian bukan suatu keanehan, Tanyakan saja pada kusir delman yang tiap hari menjala rupiah di pantai Parangtritis, selatan Jogjakarta, kalau fakta tersebut ternyata bukan fantasi.
“Tiap tahun masyarakat di sini pasti nglarung (memberi persembahan)”, kata Wahyo, seorang kusir di Parangtritis. Biasanya, sesembahan itu dilakukan tiap 1 Suro, tahun baru Jawa, yang sangat kental sekali terkait dengan keberadaan penguasa laut selatan. Tak hanya masyarakat sekitar situ, tapi mulai dari pantai selatan Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Bali. Nama kota Pelabuhan Ratu, sangat erat berhubungan dengan kepercayaan itu. Apa sich isi persembahan buat penguasa lautan luas, yang acap disebut ratu pantai selatan itu?
Yang pasti persembahan itu berisi sesuatu yang sangat simbolik. Ada penganan, hasil bumi, burung hidup, air suci, kembang melati, dan benda-benda berharga. “Supaya kita terhindar bencana”, alasan Nunik, seorang penduduk Cilacap, Jawa Tengah, kota terbesar di pantai selatan, yang selalu mengikuti upacara sesembahan atau sedekah laut. Bahkan barang-barang pribadi Sultan Jogjakarta, juga ikut dilarungkan. Sultan Jogjakarta? Kok bisa?
A queen for all kings
“Setiap penguasa pulau Jawa itu adalah ‘suami’ dari Kanjeng Rara Kidul, kata seorang paranormal yang enggan mau disebut namanya. ‘Perkawinan’ itu terjadi karena ada kesepakatan Panembahan Senopati, sebelum ia mendirikan kerajaan Mataram Islam dengan penguasa lautan, yang sering disebut Kanjeng Rara Kidul. Mitos ini terbaca jelas dalam Babad Tanah Jawi, sebuah dokumen tertulis yang sebagian mencampurkan fakta dengan fiksi, hampir 6 abad silam.
Hingga sekarang kerajaan yang dia dirikan terpecah belah menjadi empat kerajaan. Para penguasa kerajaan itu, ya otomatis menjadi ‘suami’ dari ratu pantai selatan pulau Jawa itu, yaitu Sinuhun Pakubuwono XIII (sejak 2004) dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Sri Mangkunegara IX (sejak 1987) dari Pura Mangkunegaran , keduanya di Surakarta. Lalu Sultan Hamengkubuwono X (sejak 1988) dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Sri Paku Alam IX (sejak 2003) dari Pura Pakualaman, keduanya di Jogjakarta.
Saya sendiri pernah bertemu dengan paranormal itu, yang juga penasehat spiritual Sultan Hamengkubuwono X itu. Dia sendiri yang melarungkan beberapa benda-benda pribadi Sultan, yang sekarang bakal menjadi calon presiden Indonesia itu. Rekannya yang lebih senior, juga seorang paranormal dan sahabat spiritual mendiang Sultan Hamengkubuwono IX, membuka sebuah fakta bahwa Kanjeng Rara Kidul memiliki sistem pemerintahan yang serupa dengan dunia nyata. “Pucuk tertinggi dipegang oleh kanjeng. Dia dibantu oleh nyai sebagai patihnya dan mbok, pangkat terendah. Keduanya bertugas sebagai penjaga yang selalu melakukan recruitment”, kata paranormal senior itu.
Marshall Green
‘Recruitment’ atau rekrutmen yang dijalankan Kanjeng Rara Kidul, biasanya untuk dijadikan subyek bagi pasukannya. Siapa yang direkruit? Kebanyakan orang yang tenggelam dan hilang tak berbekas, ketika berenang di sepanjang pantai selatan Jawa. Apalagi orang itu memakai busana warna hijau, khususnya hijau gadung (hijau pucat). “Hijau itu warna kesukaan Kanjeng Rara Kidul”, tambah paranormal itu.
Pernah Duta Besar AS untuk Indonesia 1966-1967, Marshall Green, bergurau bahwa Kanjeng menyukainya, karena namanya Mr. Green (green dalam bahasa Inggris artinya hijau). Meski dia tak percaya takhyul, Green paham mengapa sebuah hotel terbesar di Pelabuhan Ratu, seperti ditulis Isaac Asimov, menyediakan ruangan khusus untuk sang ratu. Untungnya dia tak direkruit. Rekannya, duta besar Bulgaria di Jakarta tewas terseret ombak di pantai Pelabuhan Ratu, tahun 1965.
Sang dubes itu mungkin orang yang paling tinggi kedudukannya yang pernah ‘direkruit’ penguasa samudra selatan. Namun kebanyakan yang dijadikan asisten Kanjeng Rara Kidul adalah rakyat awam. “Dua puluh tahun lalu, putri saya hanyut di Kali Kulon Progo”, kata mBah Joyo, warga Kulon Progo, Jogjakarta. Kali itu memang mengalir ke laut selatan. Dia sangat percaya bahwa Kanjeng Rara Kidul telah meminta putrinya untuk mengabdi di keratonnya.
Kepercayaan pra-ilmiah
Kemana perginya para ‘prajurit’ Kanjeng Rara Kidul itu, setelah mereka tewas tenggelam dan hilang? Jawabannya bisa mistis atau ilmiah. Selepas perairan pantai selatan Jawa, memang hanya ada hamparan samudra luas. Tidak ditemukan pulau atau daratan apapun hingga benua Antartika. Samudra selatan benar-benar dikuasai oleh kesunyian.
Berdasarkan rekaman sonar oleh kapal Umitaka Maru pada kedalaman 0 sampai 3000 m, sebuah ekspedisi yang dilakukan Jepang tahun 2004, dasar samudra yang menjadi kekuasaan sang ratu itu terdiri dari tebing-tebing terjal dan palung curam sedalam sekitar 3500 m. Letaknya mulai dari Parigi, Pangandaran sampai Cilacap. Bahkan ditemukan gunung laut menonjol hingga hampir mencuat ke permukaan laut, sekitar 222 km dari Cilacap. Gunung laut itu ditemukan di kedalaman 3000 m dengan tinggi gunung sekitar 1500 m. Yang ‘agak datar’ cuma di sekitar perairan sekitar Ujung Genteng, Pelabuhan Ratu (Jawa Barat) dan Cilacap. “Namun kondisi itu bisa berubah karena adanya gempa”, kata peneliti ITB, Totok Hestirianto.
Jadi wajar saja, setiap orang yang hanyut di samudra selatan itu, menghilang dibawa hantaman gelombang ombak besar, di belantara perbukitan dasar laut. Pada masa silam, sebelum orang mengenal oseanografi, mereka yang hanyut itu dianggap pergi ke keraton sang ratu. Inilah yang menjadi mitos ratusan tahun berakar pada masyarakat yang sulit dihilangkan, seperti ombak menyapu istana pasir.
Mitos itu bukan klenik atau takhayul tanpa nalar, tapi jawaban pra-ilmiah terhadap pertanyaan ilmiah, seperti yang didefinisikan Barclay. Mitos menjadi salah karena tidak pernah terjadi sungguh-sungguh dan mitos menjadi benar karena nyata-nyata hidup dalam diantara masyarakat.
Ronald Reagan
Mitos Kanjeng Rara Kidul sebenarnya adalah mitos pra-ilmiah. Bukan non-ilmiah. Masyarakat waktu itu, jamannya Panembahan Senopati, belum sampai pada tahap pemikiran ilmiah yang baik. Pemahaman pada oseanografi belum ada, mereka sulit sekali mengerti, koq laut pantai selatan begitu sulit dilayari dan tak bersahabat. Muncullah mitos itu.
Mitos tidak hanya hidup pada masyarakat yang terbelakang. Pada masyarakat yang tergolong hidup pada tataran modern pun meyakini sebuah mitos. Presiden AS 1981-1989 Ronald Reagan adalah contoh yang baik seorang yang mempercayai mitos, bahkan takhyul. Ketika dia terpilih menjadi gubernur California, ia minta dilantik pada waktu tengah malam! Entah apa maksudnya. Kegiatannya sebagai pemimpin negeri adidaya, juga sangat dibimbing oleh hari baik dan hari buruk.
Begitu percayanya pada mitos, Reagan pun mudah mengerti dengan kepercayaan semacam Kanjeng Rara Kidul. Waktu Sultan Hamengkubuwono IX wafat di AS, Reagan memerintahan Air Force Two untuk membawa jenazahnya ke Honolulu. Setelah itu dibawa dengan pesawat Indonesia ke tanah air. Sulit dimengerti mengapa Reagan begitu memberi penghormatan sangat tinggi pada ‘suami’ Kanjeng Rara Kidul itu? Sultan datang ke AS bukan sebagai tamu negara, hanya untuk berobat. Apalagi saat itu Sultan tidak punya jabatan politis apapun. Menggunakan pesawat kepresidenan AS untuk mengangkut jenazah Sultan adalah sebuah penghormatan tertinggi untuk ‘suami’ dari ratu pantai selatan itu.
Ya suami, karena dari Sultan Hamengkubuwono IX kita bisa tahu seperti apa paras atau wajah Kanjeng Rara Kidul itu? Dalam bukunya Tahta Untuk Rakyat, Sultan yang pernah menjadi wakil presiden RI (1973-1978) itu, melukiskan wajah sang ratu yang selalu berubah. Bila bulan baru, wajahnya begitu cantik dan pada bulan penuh berbalik menjadi wanita yang berwajah buruk. Sultan pun pada waktu-waktu tertentu harus menjumpai ‘istrinya’ itu, melalui meditasi dan berpuasa. Aneh?
Pasti memang aneh. Saya sendiri mengalami keanehan itu, ketika mengirimkan tulisan tentang Kanjeng Rara Kidul ke sebuah harian berbahasa Inggris terkemuka, agak bingung saat foto Kanjeng Rara Kidul hasil lukisan pelukis Basuki Abdullah yang saya kirimkan, ternyata ‘sedikit berubah’ wajah sang ratu ketika tampil pada harian tersebut.
Sebenarnya banyak cara untuk menjumpai sang ratu. Untuk ‘masuk’ ke istananya tidak semua sepanjang pantai selatan Jawa bisa dilakukan perjumpaan. Ada ‘pintu-pintu tertentu’ yang harus didatangi orang untuk bertemu. Seperti pantai Srandil (Cilacap), Jatijajar (Gombong), Bulupitu (Kebumen), Parangtritis atau Parangkusumo (Jogjakarta), Kertosuro, Ndelepih di sekitar Gunung Kidul atau di selatan Candi Prambanan sekitar Ratu Boko. “Kalau mau bertemu syaratnya harus bersih diri dulu dan pantang makanan bernyawa (daging)”, tambah seorang paranormal yang tak mau disebutkan namanya.
Soekarno ‘sang suami’
Seorang penguasa Jawa tidak bisa menjadi kuat, besar dan agung, bila ia tak menjadi ‘suami’ Kanjeng Rara Kidul. Makanya, muncul kepercayaan bahwa setiap penguasa Jawa ex officio (dengan sendirinya) menjadi ‘suami’ ratu selatan itu, seperti yang tertulis pada Babad Tanah Djawi. Artinya raja Jawa ya raja yang kuat dan besar, karena faktanya mereka telah menjadi ‘suami’ sang ratu.
Apa artinya kepercayaan itu? Ya, bukan berarti harus kawin dengan seorang ratu yang bernama Kanjeng Rara Kidul secara harfiah. Tetapi itu sebuah simbol. Satu perlambang. “Negara Republik Indonesia hanya bisa menjadi kuat bila kita kawin dengan lautan”, teriak Presiden Soekarno pada Hari Armada 1961 di Surabaya.
Dan pemimpin Indonesia benar-benar harus mementingkan kelautan sebagai kekuatan besar. Laut harus menjadi istri bagi pemimpin Indonesia. Soekarno memang kawin dengan laut. Pada masa pemerintahannya, kekuatan armada Indonesia tergolong terbesar di Asia Tenggara. Ketika siap-siap menyerbu Irian Barat untuk merebutnya, konsentrasi armada Indonesia saat itu, bisa dibilang yang terbesar setelah penyerbuan Normandia tahun 1944 oleh Sekutu, yang menjadi titik awal kekalahan Nazi.
Dia telah membuktikannya betapa kejayaan di laut hanya akan membawa kekuatan besar bagi Indonesia. Hasilnya: Irian Barat bisa kembali ke Indonesia. Sebagian besar wilayah Indonesia adalah laut. Di laut pula terpendam kekayaan alam melimpah. Di laut kita pernah membuktikan sebagai bangsa besar. Bagi Soekarno, laut bukan pemisah, tapi penghubung. Itu artinya, sebuah bukti kesetiaan Soekarno sebagai ‘suami’ Kanjeng Rara Kidul.
http://lieagneshendra.blog.friendster.com/?p=2200