Penemuan arkheologi berupa manuskrip - manuskrip kuno Nag Hammadi Mesir (1945) yang di antaranya terdapat “Injil Thomas,” “Injil Maria” dsb. Disusul penemuan naskah kuno “Injil Yudas” dalam bahasa Koptik (1970) telah mendorong sejumlah pakar sejarah mengulas isi pesan naskah-naskah tersebut yang kemudian diterbitkan.
Bahkan novelis Dan Brown mengangkat pesan-pesan tersebut dalam bentuk novel The Da Vinci Code yang diterbitkan Doubleday (2003) Naskah-naskah kuno (Injil gnostik) tersebut juga menarik kalangan non Kristen untuk menanggapi, di antaranya Musadig Marhaban, Yudas Pengkhianat atau Penyelamat.
Sejumlah penulis dari kalangan Katolik dan Kristen pun menerbitkan buku-buku yang isinya meluruskan yang salah. Hampir semua pengantar buku-buku tentang naskah kono di atas menulis bahwa penemuan tersebut telah menggemparkan kalangan Kristen, karena isi pesan nya telah menjungkir balikkan kesaksian Injil Kanonik yang telah diterima berabad-abad.
Naskah-naskah itu memang benar-benar asli, tetapi isinya berbeda sekali dengan Injil Kanonik. Meskipun tulisan gnostik itu menggunakan frame Kristen, keduanya sejak dulu adalah memang berbeda. ‘Injil Yudas’ (injil-injil gnostik) bukan injil karena isi pesannya tidak sama dengan isi pesan injil Kanonik. Karena itu injil-injil gnostik itu tidak bisa dianggap sebagai salah satu versi injil yang kemudian bisa dihadapkan dengan Injil kanonik di arena untuk dicari pemenangnya.
Sejak zaman Irenius injil gnostik telah ditentang (sebagai ajaran yang berbeda dengan Alkitab) Jadi kemunculan naskah-naskah itu sebenarnya tidak perlu dianggap sesuatu yang menggemparkan atau mengancam kebenaran kesaksian Injil Kanonik, kecuali bagi orang-orang di luar kalangan Kristen. Kalangan Gereja tetap menerima kesaksian Injil Kanonik sebagai kebenaran berdasarkan pada keyakinan imannya.
Adalah sangat tidak pas dan terlalu naif, jika kita mengukur yang rohani dengan kaidah-kaidah ilmiah untuk sampai kepada kesimpulan mengakui atau menolak sebuah pesan pengajaran. Tetapi amat menyedihkan bahwa pemikiran yang mengarah kepada kecenderungan, menganggap isi naskah kuno (injil gnostik) serta merta sebagai yang “benar” dan kesaksian injil Kanonik sebagai bagian dari hasil rekayasa besar (oleh Gereja, Konstantin, bahkan pihak luar menuduh rasul Paulus) terus dihembuskan mereka yang menolak iman Kristen.
Apa yang harus dilakukan Gereja dalam menghadapi fenomena Mumi (injil gnostik) yang dihidupkan kembali setelah berabad-abad terkubur? Kita harus menyadari bahwa ke kritisan jemaat terus berkembang seiring dengan tingkat pendidikan. Orang tidak lagi mudah menerima bulat-bulat apa kata Pendeta. Kepada mereka tidak cukup dikatakan “Yang itu benar, ini salah” “Yang ini boleh , yang itu tidak boleh” Tetapi diperlukan penjelasan.
Penyajian ajaran neo pagan dan gnostik yang tidak sesuai dengan Alkitab dalam bentuk novel (seperti karya Brown) amat strategis karena bisa meraih pangsa pembaca awam yang luas, dan relatif lebih mudah menanamkan pesan. Karena penampilan karya itu bukan karya ilmiah yang harus dikaji dan memiliki argumentasi yang bisa diterima. Itu berarti Brown telah menusuk bagian yang lemah dari gereja.
Kenyataan tersebut merupakan tantangan bagi Gereja untuk menguatkan keyakinan iman anggotanya serta menyeminarkan atau menerbitkan buku-buku tentang bahayanya ajaran-ajaran yang menyesatkan. Itu adalah sikap yang bijaksana dan elegan dibanding dengan mengobarkan emosi kemarahan dan membalas dengan kutukan seperti sering dilakukan orang.
Karena itu Gereja harus bertindak cepat dan inovatif mencegah masuknya sampah-sampah pengajaran yang dihanyutkan arus zaman memasuki area iman Kristen. Jika kita sampai saat ini belum berbuat sesuatu. Pertanyaannya adalah apakah kepedulian kita yang kurang atau justru kemampuan dan kekritisan kita yang terbatas.