Hampir setiap saat urat nadi bangsa kita tegang. Orang kerap menggaruk-garuk kepala atau geleng-geleng sambil menatap tak percaya pada banyak hal yang terjadi di negeri ini.
Begitu banyak masalah yang dihadapi bangsa kita, persiapan pemilu yang meragukan, para caleg bermasalah, momen pembagian BLT yang menyayat hati, slide-slide pembunah keji terus terekspos media-media kita. Gila!!!
Di tengah kegalauan yang memecah jiwa, Budiman Hakim angkat suara melalui bukunya Sex After Dugem. Sebuah buku yang menurut Sapardi Djoko Damono mewakili siapa yang menulis. “Buku ini nyeleneh, nah yang menulisnya mbahnya nyeleneh,” komentar Sapardi saat peluncuran buku Sex After Dugem di Gramedia Pondok Indah Mall beberapa waktu yang lalu.
Menurut Psikolog Tika Bisono, hal nyeleneh dalam buku ini sangat diperlukan oleh setiap orang. Dalam hidup itu harus ada humor. “Orang yang bermental sehat adalah orang yang bisa menertawakan dirinya sendiri,” kata Tika yang juga menulis komentar di buku ini.
Salah satu kisah, ketika Budiman menceritakan pengalamannya bersama Wida, temannya. Karena Wida mabuk, Budiman berniat mengantarnya dengan taksi. Namun, ketika ditinggal sebentar membeli rokok, Wida sudah meluncur dengan taksi yang dihentikannya.
Ternyata Wida tidak membawa uang. Saat hendak membayar, Wida bersandiwara seolah-olah menjadi kuntilanak, untung waktu turut mendukung karena sudah jam dua pagi. Lucunya, sopir taksinya percaya sehingga membuat ia pingsan, sedangkan Wida tertawa-tawa riang di dalam kamarnya (257-269).
Kumpulan cerita yang dibawakan dengan ringan dan humor ini diakui Budiman dimulai dengan membuka semua pancaindra untuk menangkap apa saja di sekitar kita. “Ketika kita membukanya semua anugerah Tuhan tampak oleh kita,” katanya.
Setelah itu kita tindak lanjuti. Caranya adalah dengan melakukan pengamatan terhadap semua hal, termasuk yang sepele, tidak penting dan tidak terpikir bisa ditulis. Misalnya, pengalamannya ketika seorang gay menjamah pahanya (139). Atau saat ditelepon seorang tokoh untuk minta anaknya diterima magang di perusahaan iklannya (64), sampai ke pengalaman yang berbau seks; seperti perkawinan temannya yang gagal setelah 6 tahun gara-gara si istri konvensional dalam berhubungan seks (177). Juga, kisah one night stand teman-temannya (114) juga terekam oleh penulis.
Sekumpulan pengamatan yang menjadi bahan tulisan itu menurutnya bisa mengasah kemampuan untuk mencari dan menangkap ide. Inilah yang disebut dengan proses kreativitas. Selanjutnya, dengan menorehkan hasil pengamatan itu ke dalam kertas, berarti kita telah belajar menulis.
Ada banyak cara menuliskan hasil pengamatan tersebut. Hasil kreativitas itu berbagai bentuk, dari yang sastra puitis, ilmiah, hingga apa pun yang tampaknya belum bisa mencakup bukunya Budiman ini.
Banyak profesor yang membaca buku ini mengkritik kenapa tidak memakai bahasa Indonesia yang baku. “Bukannya tidak mau, tapi tidak bisa. Saya telah mencobanya, tetapi setelah dibaca tidak mewakili ekspresi yang hendak saya ungkapkan. Lah ya jadinya seperti ini,” kata Budiman.
Memang bahasa yang dipakai dalam buku ini sangat gaul, yang tersaji secara naratif. Sekalipun demikian, makna-makna deduktif tetap tersebar dalam tulisannya. Misalnya, Budiman mengajak pembacanya untuk merefleksikan bahwa mahasiswa sekarang kurang fight hanya berorientasi uang (65), para pejabat yang seharusnya melayani, tetapi malah minta dilayani (97), atau kisah pertobatannya untuk tidak nyimeng lagi (204).
Namun, ada pertanyaan nakal yang bisa kita ajukan ketika kita membaca buku ini. Ada beberapa hal yang menyinggung soal seks, alkohol, dan dugem. Oleh pengarang, ketiganya bahkan disebut trilogi, dan disinyalisasi ungkapan pengalaman pengarang dan teman-temannya sendiri.
Pertanyaannya, apakah ada hubungan antara trologi itu dan kreativitas. “Ada para seniman (yang dikenal kreatif) yang dalam kondisi setengah sadar baru kreativitasnya baru keluar. Dalam hal ini trilogi itu boleh-boleh saja asalkan yang bersangkutan tahu kapan berhentinya. Jika merasa tidak kuat maka jangan dicoba,” ungkap Tika berhati-hati dengan suara pelan namun mantap.
Buku ini seyogyanya merangsang daya kreatif kita untuk keluar. Biarkanlah ia mengembara untuk menangkap berbagai fenomena yang ada di sekeliling kita. Pola seperti ini akan membantu kita berpikir kritis. Untuk itulah, tampaknya buku ini dari penyajian dan isinya lebih pas dicerna oleh orang dewasa, ketimbang remaja apalagi anak-anak.
Pada masa-masa kampanye, sikap kritis ini sangat diperlukan. Dalam hajatan politik April mendatang, banyak trik dan intrik yang perlu kita cermati. Tujuannya, siapa pun yang kita pilih benar-benar bertanggung jawab dan bisa memperbaiki.
Kompas.com