Dari sejumlah buku dan ratusan naskah tentang Warren Buffett yang dibaca penulis, judul di atas merupakan penggambaran paling pas untuk sang superinvestor. Judul ini pula menjadi judul buku Robert G Hagstrom. Majalah Forbes menobatkan Warren Buffett sebagai orang terkaya dunia 2008, dengan total kekayaan US$ 62 miliar (setara Rp 542 triliun).
Jalan yang ditempuhnya untuk meraih kekayaan adalah jalan kesederhanaan. Kepiawaian Buffet dalam berinvestasi, justru terletak pada kesederhanaan. Ia hanya berinvestasi di bidang usaha yang dimengerti.
Kini kita hidup dalam dunia di mana mayoritas konglomerat dunia adalah produk American Dream, kaya mendadak. Memulai debut bisnis (mendirikan perusahaan), menjual saham di bursa, kemudian men- jadi konglomerat. Sedangkan Buffett, secara konservatif membeli saham perusahaan yang sudah berjaya atau mempunyai prospek/tradisi bagus, dengan keyakinannya menjauhi spekulasi dan saham- saham teknologi.
Apakah ini pertarungan dua "ideologi" dalam bentuk lain? Pertanyaan ini layak dilontarkan. Sebab, pada saat yang sama, kita sedang menyaksikan "siaran langsung" di mana Tiongkok akhirnya melepas mata uangnya ke pasar. Tidak lagi dipatok terhadap dolar AS. Tiongkok tidak lagi menentang ekonomi pasar meski masih tetap menonjolkan aspek pengelolaan oleh negara.
Dunia sedang "demam konservatif" ala Buffett. Tak terhitung lembaga pendidikan yang menawarkan kursus investasi ala Buffett. Tak terhitung keuntungan orang dengan menjual nama Buffett. Untuk makan siang bersama Buffett, Minggu 29 Juni 2008, tiket seharga US$ 500.000 (Rp 4,69 miliar) per orang, terjual habis. Semua ini, seakan menjadi kebangkitan kembali (revival) konservatisme dalam bursa saham.
Andaikan terowongan waktu benar-benar ada, banyak orang yang ingin kembali ke tahun 1965, ketika dengan menginvestasikan US$$ 10.000 kepada Buffett, tahun 2008 ini sudah menjadi US$ 50 juta. Per 24 Juni 2008, harga saham Berskhire Hathaway (BRK-A) US$ 122.700/lembar. Dengan kurs Rp 9.380/dolar AS, kapitalisasi pasar BRK-A per 25 Juni 2008 adalah US$ 188,86 miliar dengan PER (price earning ratio) 16,33 kali.*
Warren Buffett adalah investor nilai. Investor yang berani membeli saham suatu perusahaan jauh di atas harga pasar, jika nilai intrinsik perusahaan itu memang jempolan.
Maka ketika QTel membeli 40,8 persen saham PT Indosat Tbk dengan Rp 7.388/ lembar, 30 persen lebih tinggi dari harga pasar Rp 5.650/lembar, untuk ukuran Buffett Way, bukan sesuatu yang aneh.
Akhir tahun 2000, Berskhire Hathaway, perusahaan investasi Buffett, mengakuisisi 87 persen saham Shaw Industries di harga US$ 19/saham, padahal harga pasar hanya US$ 12,19/saham. Buffett membeli dengan harga 56 persen lebih tinggi dari harga pasar. Dengan membayar nilai seperti ini Buffett justru menuai untung besar. Tahun 1994, ia membeli 32 persen saham Coca Cola senilai US$ 12,4 miliar, tahun 2004 nilainya sudah menjadi US$ 60 miliar.
Intisari penilaian Buffett terhadap suatu perusahaan adalah nilai. Maka, strategi Buffett adalah membeli dan bertahan. Dia bukan seperti George Soros yang murni spekulan, yang setiap saat bisa pergi kalau sudah memperoleh capital gain.
Spekulasi besar-besaran gaya Soros seperti pada 15 September 1992 (yang dikenal sebagai "Rabu Hitam"), tatkala Soros meraup keuntungan hampir US$ 2 miliar dalam sehari, sungguh jauh dari wilayah pemikiran Buffett.
Setelah Bill Gates 13 tahun bertengger sebagai orang terkaya di dunia, pada tahun 2008 posisinya digeser Buffett. Kekayaan Gates tahun 2007, menurut Forbes, hanya naik US$ 2 miliar menjadi US$ 58 miliar. Sedangkan kekayaan Buffett naik US$ 10 miliar menjadi US$ 62 miliar.
Berbeda dengan konglomerat dunia lainnya, Buffett tidak mendirikan perusahaan sejak awal hingga besar macam William Gates III (Bill Gates), tetapi membeli saham perusahaan-perusahaan yang sudah mempunyai tradisi manajemen yang baik. Orang lain mendirikan dan mengembangkan, Buffett membeli sahamnya dan memolesnya sehingga lebih cemerlang.
Membeli saham memang sudah dunia Buffett sejak kecil. Ayahnya mempunyai perusahaan broker. Sejak usia 11 tahun, dia sudah dimintai tolong ayahnya untuk membantu menulis harga-harga saham. Di usia 11 pula, ia membeli Cities Services seharga US$ 38,25/lembar, kemudian menjualnya di US$ 40/lembar.
Ketika berusia 14 tahun, dengan modal US$ 1.200, ia sudah mampu membeli tanah seluas 40 hektare. Tanah ini disewakan Buffett ke petani lokal. Inilah passive income Buffett yang pertama.
Meski menjadi orang terkaya di dunia, Buffett bukanlah tipe yang suka bermewah-mewah. Rumah yang ditempatinya di Omaha, masih rumah yang tahun 1958 dibelinya seharga US$ 315.000, dua tahun setelah Buffett mengawali kemitraan investasinya tahun 1956. Tinggal di rumah tua, tetapi bisa memberi sumbangan US$ 30 miliar kepada Yayasan Bill & Melinda Gates.
Ketika George Soros mendonasikan US$ 300 juta untuk "menggembosi" komunisme di Eropa Timur, dunia berdecak kagum, dan Soros menjadi filantropis kelas wahid. Ternyata tak sampai 10 tahun, Buffett mendonasikan 100 kali lipat dibanding Soros.
Buffett masih tetap sederhana, laporan tahunan kepada para pemegang saham, masih tetap hanya berisi kata-kata, tanpa grafik, tanpa tabel. Buffett tetap hanya mendayagunakan kata-kata, milik semua manusia secara gratis, sejak bayi.
Gabungan 3 Orang
Hampir semua penulis tentang Buffet menilai, Warren Edward Buffett (lahir di Omaha, Nebraska, Amerika Serikat, 30 Agustus 1930), adalah gabungan dari sedikitnya tiga pemikir/pebisnis. Pertama, Benjamin Graham (yang dikenal sebagai analis saham pertama di dunia), penulis buku Security Analysis (terbit tahun 1930-an, diinspirasi krisis bursa 1929) dan The Intelligent Investor (1949). Graham adalah ilmuwan yang juga praktisi bisnis saham.
Benjamin Graham bukan konsultan, tetapi guru. Graham bukan hanya mampu berteori bahkan menulis buku dan menjadi analis pertama, tetapi juga mampu melakukan yang dikatakannya.
Kedua, adalah John Burr Williams, penulis buku The Theory of Investment Value (1938). Selama enam dekade, buku ini bertahan sebagai panduan utama para analis dan investor. Buffett meringkas teori ini: nilai suatu bisnis ditentukan arus kas sepanjang hidup bisnis itu (dipotong diskon bunga). Nilai seekor ayam, diukur dari telur-telurnya, saham diukur dari dividen-dividen. Itu sebabnya Buffett berani membeli saham di atas harga pasar.
Ketiga, adalah Charles Munger, yang awalnya adalah investor mandiri, di mana Munger juga bisa mengungguli indeks Dow Jones Industrial Average. Sering sekali, keduanya justru membeli saham yang sama. Tahun 1978, mereka bergabung.
Beli dan bertahan, mengambil manfaat dari fluktuasi pasar, itulah yang dilakukan Buffett. Maka ia tetap mengoleksi 200 juta lembar saham Coca Cola, 151,61 juta lembar saham Amex, serta 1,73 miliar lembar saham koran legendaris The Washington Post (termasuk majalah Newsweek). Biaya pembelian Washington Post adalah $ 11 juta, harga pasar tahun 2003 sudah $ 1,367 miliar, lebih dari 100 kali lipat.
Masalah kita sekarang, dalam kancah pertarungan konglomerat modern macam Bill Gates yang mengandalkan teknologi, dengan Buffett yang menganut kesederhanaan berpikir dan bertindak, dunia tetap dengan realita di mana 10 persen populasi menguasai 90 persen aset dunia. Ada keterlepasan (uncoupling) perkembangan kalangan atas dengan kalangan bawah.
Nyatanya, jumlah orang miskin di Indonesia malah bertambah. Atau lagi-lagi seperti kata Pramudya Ananta Toer, kaum lemah akan menjadi energi atau korban kaum kuat untuk berkembang tanpa batas.
Oleh Wartawan Senior Sihol Manullang