“Yah ... hari ini kul pk motor.” (Bunyi teks yang diketik oleh Nona A, anak pengusaha Tuan B pada suatu ketika di jaringan sosial internet.) Bisa jadi teks tersebut merupakan awal dari malapetaka yang akan menimpa Nona A. Ia pulang kuliah pada sore hari. Di jalanan yang agak sepi motornya dipepet sampai ia jatuh. Mobil yang memepet berhenti dan pintu pun terbuka. Tangan-tangan kekar mencengkeram lengan Nona A dan mencampakkannya ke kursi mobil. Malam itu Tuan B mendapat telepon yang minta tebusan sekian juta dollar untuk menukar nyawa puterinya.
Ini adalah cerita fiksi yang bisa terjadi di masa-masa yang akan datang. Bagaimana mungkin? Mudah sekali. Coba Anda masuk ke akun Facebook atau Twitter yang Anda miliki. Berapa banyak informasi yang Anda isikan pada kolom-kolom isian yang tersedia. Ini adalah informasi yang rentan untuk dibobol. Padahal TIDAK semua kolom wajib diisi. (Jika tidak wajib, mengapa harus diisi?)
Tanpa membobol pun saya tahu identitas teman facebook saya: nama lengkapnya, tanggal lahirnya, alamat rumahnya, pekerjaannya, pendidikannya, kekasihnya. Lalu coba kita buka searching engine, google misalnya. Ketik nama lengkap tersebut. Maka akan tersedia banyak pilihan yang mungkin benar.
Coba pilih data dari lembaga pendidikan (departemen diknas). Maka akan diketahui nama orang tuanya. Jika kedua nama tersebut kita gabung dan kita cari di Google, mungkin kita bisa menemukan alamat lengkap tempat tinggal mereka. Atau kita bisa menelusuri alamat tinggal ini dari nama orang tuanya. Nah apa lagi yang ingin kita cari?
Dari sini kejahatan bisa kita rencanakan. Dari Facebook atau Twitter kita bisa mendapat fotonya. Dari status-status yang ia poskan, kita bisa mengamati aktivitas hariannya. Pengamatan kita lanjutkan pada level pengamatan lapangan. Setelah pola-polanya terlihat, kita tinggal menentukan kapan kita akan menculiknya.
Dari pengamatan saya, ternyata banyak anak remaja yang sangat tidak menyadari hal ini. Mereka mengumbar identitasnya. Bahkan bangga jika identitas mereka diketahui oleh orang banyak. Mungkin mereka merasa seperti selebritis. Namun yang mengejar-ngejar selebritis adalah paparazi. Sedang mereka, bisa jadi yang mengejar-ngejar adalah penculik, pemerkosa, pembunuh.
Jadi hati-hatilah. Batasi informasi-informasi hanya pada hal-hal yang diwajibkan oleh penyedia jaringan sosial. Dan pertimbangkan jika Anda hendak memposkan informasi yang sekiranya bisa membahayakan diri Anda. Ingat Anda tidak mati jika sehari tidak memposkan status Anda. Namun Anda bisa mati karena apa yang Anda tulis sebagai status Anda!
Ini adalah cerita fiksi yang bisa terjadi di masa-masa yang akan datang. Bagaimana mungkin? Mudah sekali. Coba Anda masuk ke akun Facebook atau Twitter yang Anda miliki. Berapa banyak informasi yang Anda isikan pada kolom-kolom isian yang tersedia. Ini adalah informasi yang rentan untuk dibobol. Padahal TIDAK semua kolom wajib diisi. (Jika tidak wajib, mengapa harus diisi?)
Tanpa membobol pun saya tahu identitas teman facebook saya: nama lengkapnya, tanggal lahirnya, alamat rumahnya, pekerjaannya, pendidikannya, kekasihnya. Lalu coba kita buka searching engine, google misalnya. Ketik nama lengkap tersebut. Maka akan tersedia banyak pilihan yang mungkin benar.
Coba pilih data dari lembaga pendidikan (departemen diknas). Maka akan diketahui nama orang tuanya. Jika kedua nama tersebut kita gabung dan kita cari di Google, mungkin kita bisa menemukan alamat lengkap tempat tinggal mereka. Atau kita bisa menelusuri alamat tinggal ini dari nama orang tuanya. Nah apa lagi yang ingin kita cari?
Dari sini kejahatan bisa kita rencanakan. Dari Facebook atau Twitter kita bisa mendapat fotonya. Dari status-status yang ia poskan, kita bisa mengamati aktivitas hariannya. Pengamatan kita lanjutkan pada level pengamatan lapangan. Setelah pola-polanya terlihat, kita tinggal menentukan kapan kita akan menculiknya.
Dari pengamatan saya, ternyata banyak anak remaja yang sangat tidak menyadari hal ini. Mereka mengumbar identitasnya. Bahkan bangga jika identitas mereka diketahui oleh orang banyak. Mungkin mereka merasa seperti selebritis. Namun yang mengejar-ngejar selebritis adalah paparazi. Sedang mereka, bisa jadi yang mengejar-ngejar adalah penculik, pemerkosa, pembunuh.
Jadi hati-hatilah. Batasi informasi-informasi hanya pada hal-hal yang diwajibkan oleh penyedia jaringan sosial. Dan pertimbangkan jika Anda hendak memposkan informasi yang sekiranya bisa membahayakan diri Anda. Ingat Anda tidak mati jika sehari tidak memposkan status Anda. Namun Anda bisa mati karena apa yang Anda tulis sebagai status Anda!